Selasa, 28 Oktober 2014

Pemeriksaan Fisik Endokrin



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hormon adalah produk sistem endokrin. Di samping organ endokrin yang sudah dikenal luas seperti hipotalamus, hipofisis, tiroid, paratiroid, adrenal, testis, ovarium, dan pankreas sekarang diketahui bahwa ada banyak organ lain yang juga dapat mengeluarkan hormon seperti jantung, sel adiposit, dan lain-lain. Pada beberapa keadaan dan penyakit yang berkaitan dengan organ endokrin atau kadar hormon maka diperlukan pengukuran kadar hormon tertentu.
Pengukuran kadar hormon merupakan sebagian kecil dari pemeriksaan laboratorium. Sebabnya adalah karena di samping pemahaman kelainan dan penyakit endokrin masih merupakan keahlian tersendiri yang belum banyak ahlinya, indikasi pemeriksaan kelainan endokrin, serta juga belum siapnya laboratorium klinik atau rumah sakit untuk melakukan pengukuran hormon. Dibandingkan dengan zat bukan hormon misalnya kadar kolesterol dan glukosa yang dinyatakan dalam mg/dl, kadar hormon amat rendah dan dinyatakan dalam ug, ng atau pg. Kadar yang kecil ini memerlukan teknik pemeriksaan yang canggih. Perkembangan teknologi pemeriksaan laboratorium dengan bioassay, bermacam-macam immunoassay, dan teknik dengan alat spektrometri, telah membuka kemungkinan pengukuran kadar hormon.

B.     Tujuan :
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas Sistem Endokrin yang berjudul ” Pemeriksaan Diagnostik : Pengukuran Kadar Hormon ”.

Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui  tentang pengukuran kadar hormon seperti kadar basal dan lainnya agar dapat menambah pengetahuan penulis ataupun pembaca.



BAB II
PEMBAHASAN MATERI

A.    Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan
Evaluasi laboratorium merupakan hal yang penting untuk menegakkan dan memperkuat diagnosis endokrin dan untuk membantu menyingkirkan diagnosis spesifik. Kecanggihan yang semakin meningkat telah menyebabkan ahli endokrinologi semakin mengandalkan uji ini. Namun, uji ini tidak dapat menggantikan keputusan klinik yang baik yang menggunakan semua informasi yang ada untuk membuat keputusan klinik. Uji laboratorium biasanya mengukur kadar hormon dalam cairan tubuh, gejala sisa dari hormon, ataupun gejala sisa dari proses yang menyebabkan kelainan hormon. Uji ini dapat dilakukan di bawah keadaan acak atau basal, keadaan yang ditentukan dengan tepat, ataupun sebagai respon terhadap beberapa rangsangan provokatif. Dalam mengukur kadar hormon, sensitivitas mengacu pada konsentrasi terendah dari hormon yang dapat dideteksi secara tepat, dan spesifisitas mengacu pada sifat spesies tertentu yang bereaksi dengan uji hormon ini.
B.     Pra Analiktik & Analitik Pengukuran Kadar Hormon
Pengukuran kadar hormon seperti juga pemeriksaan zat lain memerlukan perhatian dalam pra analitik dan analitiknya agar hasil yang di dapat memberikan informasi yang benar.

Tahap Pra Analitik
Tahap pra analitik meliputi persiapan pasien, pengambilan sampel, dan pengiriman sampel ke laboratorium pemeriksaan / rujukan, proses pemisahan serum atau plasma serta penyimpanan sampel. Semua faktor perlu dibakukan agar hasil pemeriksaan dapat diinterpretasi secara baik dan berguna. Pada persiapan pasien perlu ditentukan apakah puasa atau tidak, makanan tertentu, minuman tertentu, merokok, alkohol, obat-obatan tertentu. Juga kerja fisik atau olahraga, waktu pengambilan sampel dikaitkan dengan variasi diurnal. Pada pengambilan sampel perlu diperhatikan posisi badan pasien, lama dan kuatnya pembendungan (Torniquet), jenis antikoagulan, apakah perlu perlakuan khusus seperti pendingin. Perubahan posisi badan dari tegak ke berbaring atau sebaliknya akan menyebabkan perubahan jumlah cairan dalam pembuluh darah karena perpindahan sebagian plasma ke jaringan interstisial. Akibatnya akan terjadi perubahan kadar analit terutama yang berukuran molekul besar seperti protein. Kadar analit yang berkaitan dengan protein juga akan ikut berubah. Demikian pula pembendungan yang terlalu kuat dan lama akan menyebabkan perembesan sebagian plasma ke luar pembuluh darah dengan akibat seperti pada perubahan posisi badan. 1,2
Beberapa jenis analit termasuk hormon tertentu memerlukan perhatian dan perlakuan khusus sejak sampel diambil. Untuk sampel darah ada yang sudah harus didinginkan pada 4 °C sejak darah diambil sampel diperiksa atau sampel serum atau plasma dipisahkan dari sel darah. Contohnya adalah hormon gastrin, renin. 3
Sejak pengambilan darah sampai transportasinya ke laboratorium baik dengan kurir atau sistem angkutan seperti peneumatic tube, harus diajaga agar darah jangan sampai hemolisis. Pemisahan serum atau plasma sebaiknya dilakukan sebelum 2 jam dari waktu pengambilan darah. Hal ini disebabkan eritrosit dan sel darah yang masih hidup masih melakukan metabolisme dan dapat mempengaruhi kadar analit dalam serum atau plasma. Akan tetapi pemisahan tersebut sebaiknya setelah terjadi. retraksi bekuan sempurna. Bila pengambilan sampel darah dilakukan di tempat yang cukup jauh dari laboratorium pemeriksa, maka pemisahan serum atau plasma adakalanya sebaiknya dikerjakan di tempat pengambilan dan baru serum atau plasmanya yang dikirim ke laboratorium pemeriksa. Untuk analit yang perlu pendingin maka pemusingan dilakukan dengan centrifuge berpendingin.
Sampel sering perlu disimpan disebabkan belum dapat dikerjakan segera karena ada jadwal tertentu dan juga untuk keperluan pengukuran ulang bila diperlukan. Untuk hormon perlu diperhatikan beberapa faktor tergantung jenis hormon yang diperiksa. Hormon steroid relatif stabil sampai 3 hari bila disimpan pada suhu kamar. Hormon peptida perlu disimpan dalam keadaan beku bila tidak diperiksa pada hari pengambilan sampel. Hal ini berlaku untuk hormon yang tidak stabil seperti ACTH, renin, peptida intestinal vasoaktif, insulin, hormon pertumbuhan (growth hormone) dan kalsitonin (calcitonin).
Daftar hormon dan perlakuan khusus yang diperlukan pada pengambilan sampel dan penyimpanan
Hormon
Antikoagulan
Perlakuan Khusus
ACTH (P)
Heparin
Bekukan dalam 15 menit pengambilan
Aldosteron (P,S)

Bekukan atau + borat
Androstenedione (S)

Sampel diambil pagi hari
Calcitonin (S)

Bekukan
Cortisol (P)
Heparin
Pisahkan Segera
11-Deoxycortisol (P)
Heparin
Pisahkan Segera
Estradiol (P)
Heparin
Bekukan
Gastrin (S)

Puasa, bekukan
17-Hydroxyprogesterone (S)

Pengambilan antara pk 09.00-11.00 pagi
Insulin (S)

Puasa, bekukan
Parathyroid Hormone (PTH)(S)

Bekukan
Palacental lactogen (S)

Bekukan
Prolactin (S)

Bekukan
Renin (P)
EDTA
Dinginkan sewaktu pengambilan, centrifuge

Tahap Analitik
Pengukuran kadar hormon dilakukan dengan banyak cara, ada teknik analitis seperti bioassay, receptor assay, immunoassay, dan teknik instrumental seperti spektrometri massa yang ber-interfaced dengan kromatolografi cair atau gas.
1.      Pengkuran kadar Hormon : Kadar Basal

Assay imunologik telah menjadi teknologi dominan yang digunakan untuk mengukur kadar dari hormon dalam cairan tubuh . Sebagian besar pengukuran dilakukan pada sampel darah atau urin. Hormon diukur secara langsung dari sampel atau setelah ekstraksi dan pemurnian. Sebagian besar pengukuran adalah terhadap hormon aktif, walaupun pengukuran dari metabolit atau prekursor hormon ataupun zat yang dilepaskan secara serentak kadang-kadang memberikan informasi yang terbaik.


2.      Kadar Hormon Bebas

Banyak hormon beredar terikat dengan protein plasma, dan umumnya merupakan fraksi hormon bebas yang secara biologik relevan. Dengan demikian, penilaian dari kadar hormon bebas lebih penting daripada penilaian dari kadar hormon total. Sejumlah uji untuk mengukur kadar hormon bebas tersedia saat ini. Assay ini dapat menggunakan dialisis keseimbangan, ultrafiltrasi, pengikatan kompetisi, dan cara-cara lain. Namun, uji seperti ini tidak biasa digunakan. Salah satu dari uji yang sering digunakan adalah indeks tiroksin bebas, yang digunakan untuk mengukur hormon bebas secara tak langsung dengan menilai kemampuan dari plasma untuk mengambil T4; hal ini berbanding terbalik dengan penjenuhan dari ikatan protein oleh hormon endogen dan berbanding langsung dengan fraksi hormon total yang bebas. Pengukuran kalsium bebas daripada konsentrasi ion kalsium total juga semakin banyak digunakan.

3.      Immunoassay
Immunoassay hormon menggunakan antibodi dengan afinitas yang tinggi
terhadap hormon. Antibodi bisa poliklonal atau monoklonal.
Antibodi poliklonal yang digunakan biasanya didapatkan dari hewan yang menghasilkan sejumlah antibodi yang berbeda. Kelinci, marmut, domba, dan kambing populer untuk tujuan ini. Pada populasi antibodi poliklonal, bisa terdapat banyak antibodi dengan afinitas yang sangat tinggi terhadap hormon yang dengan demikian akan memberikan suatu tingkat kepekaan yang tinggi. Namun, dalam keseluruhan populasi poliklonal pada hewan, antbiodi terhadap antigen merupakan proporsi yang sangat rendah dari populasi antibodi total.
Antibodi monoklonal didapatkan melalui beberapa cara; biasanya didapatkan melalui penyuntikan antigen ke dalam tikus atau dengan menginkubasi antigen dengan sel in vitro. Sel hewan atau sel yang diinkubasi in vitro kemudian digabungkan melalui fusi dengan sel mieloma atau mentransformasi mereka dengan virus tumor. Hal ini menghasilkan sejumlah klon sel penghasil-antibodi. Klon ini kemudian disaring dengan antigen hormon hingga ditemukan suatu klon penghasil-antibodi yang cocok.
4.      Assay Nonimunologik
Assay nonimunologik termasuk assay kimiawi, yang mengambil manfaat dari gugusan yang secara kimiawi reaktif dalam molekul; bioassay, yang menilai aktivitas dari hormon yang diinkubasi dengan sel atau jaringan in vitro atau disuntikkan ke dalam seekor hewan; dan assay pengikatan-reseptor dan assay lain, yang memanfaatkan afinitas tinggi hormon untuk reseptor atau molekul lain seperti protein pengikat-plasma. Immunoassay umumnya unggul daripada assay reseptor karena memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap hormon ketimbang reseptor. Suatu contoh dari uji reseptor adalah uji yang menggunakan biakan sel dari suatu tumor tiroid (sel FRTL-5) yang mengandung reseptor TSH, untk mendeteksi antibodi terhadap reseptor ini yang ditemukan pada penyakit Graves.

5.      Uji Provokatif
Pada banyak kasus, kadar hormon diinterpretasi dengan baik setelah dilakukan tantangan provokatif, walaupun sedang dikembangkan cara yang lebih maju untuk memintas kebutuhan akan uji seperti ini. Misalnya , pada penyakit tiroid, uji provokatif jarang diperlukan, sementara pada insufisiensi adrenal atau kelebihan glukokortikoid, dilakukan uji seperti ini. Pada penyakit tiroid, bersihan yang lambat dari hormon menghasilkan kadar basal hormon yang sangat informatif, sementara sifat pulsasi dari pelepasan kortisol menghasilkan suatu kadar kortisol plasma yang berfluktuasi. Masalah ini dipintas dalam evaluasi dari insufisiensi adrenal dengan memberikan suatu analog ACTH yang merangsang adrenal secara maksimal.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Diagnosis dari penyakit endokrin memerlukan keterpaduan dari suatu kumpulan data, termasuk keterpaduan sejak dari riwayat dan pemeriksaan fisik dan dari uji laboratorium. Dengan adanya kecanggihan dari uji dewasa ini, biasanya diagnosis dapat dibuat dengan pasti. Namun, terdapat banyak situasi di mana sukar untuk mendapatkan suatu diagnosis yang jelas; dan prosedur untuk membuat suatu diagnosis pasti lebih banyak mengandung risiko ketimbang penyakit dalam jangka waktu pendek. Pada kasus ini harus dibuat suatu keputusan untuk memantau pasien.

B.     Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.














DAFTAR PUSTAKA
Thomas L. Clinical laboratory results. Dalam : Thomas L (ed). Clinical Laboratory Diagnostics. 1st ed. Frankfurt : TH-Books Verlagsgesellschaft mbH, 1998 p 1453-7.
Henry JB, Kurec AS. The clinical laboratory: prganization, purpose, and practice. Dalam : Henry JN (ed). Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 20th ed, Philadelphia : WB Saunders Company, 2001 p 12-7.
Kleerekoper M. Hormones. Dalam : Burtis C, Ashwood ER, Bruns DE. (eds). Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. 4th ed. 2006 p 1030-1.
Young DS, Bermes EW, Haverstick DM. Specimen collection and processing. Dalam : Burtis C, Ashwood ER, Bruns DE. (eds). Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. 4th ed. 2006 p 54-5.
Nice DA. Assessment of organ function. Dalam : Noe DA, Rock RC (eds). Laboratory Medicine. The selection and interpretation of clinical laboratory studies. 1th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994 p 55-74.
Baxter JB. Introdaction to endocrionology. Dalam : Greenspan FS, Strewler GJ (eds). Bassic & Clinical Endocrinology. 1th ed, London: Prentice Hall International Inc. 1997 p 28-34.
Oleh : Prof. Marzuki Suryaatmadja, SpPK(K)

Gosling JP: A decade of development in immunoassay methodology. Clin Chem 1990;36:1408.
Vaitukaitis JL: Hormone assays. In Felig P. Endocrinology and Metabolism, 2nd ed. McGrawHill,1987; 58-62
Ekins R: Measurement of free hormones in blood. EndocrRev 1990;11:5.
PDF Teknik Diagnostik Klinik Kelainan Endokrin Oleh : Ruswana Anwar (Subbagian Fertilitas Dan endokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar