BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hormon adalah produk sistem endokrin. Di samping organ endokrin yang sudah
dikenal luas seperti hipotalamus, hipofisis, tiroid, paratiroid, adrenal,
testis, ovarium, dan pankreas sekarang diketahui bahwa ada banyak organ lain
yang juga dapat mengeluarkan hormon seperti jantung, sel adiposit, dan
lain-lain. Pada beberapa keadaan dan penyakit yang berkaitan dengan organ
endokrin atau kadar hormon maka diperlukan pengukuran kadar hormon tertentu.
Pengukuran kadar hormon merupakan sebagian kecil dari pemeriksaan
laboratorium. Sebabnya adalah karena di samping pemahaman kelainan dan penyakit
endokrin masih merupakan keahlian tersendiri yang belum banyak ahlinya,
indikasi pemeriksaan kelainan endokrin, serta juga belum siapnya laboratorium
klinik atau rumah sakit untuk melakukan pengukuran hormon. Dibandingkan dengan
zat bukan hormon misalnya kadar kolesterol dan glukosa yang dinyatakan dalam
mg/dl, kadar hormon amat rendah dan dinyatakan dalam ug, ng atau pg. Kadar yang
kecil ini memerlukan teknik pemeriksaan yang canggih. Perkembangan teknologi
pemeriksaan laboratorium dengan bioassay, bermacam-macam immunoassay,
dan teknik dengan alat spektrometri, telah membuka kemungkinan pengukuran kadar
hormon.
B. Tujuan
:
Tujuan
umum penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas Sistem Endokrin
yang
berjudul ” Pemeriksaan
Diagnostik : Pengukuran Kadar Hormon ”.
Tujuan
khusus penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang pengukuran kadar hormon seperti kadar
basal dan lainnya agar dapat menambah pengetahuan penulis ataupun pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
MATERI
A.
Pemeriksaan
Laboratorium dan Pencitraan
Evaluasi laboratorium merupakan hal yang penting untuk
menegakkan dan memperkuat diagnosis endokrin dan untuk membantu menyingkirkan
diagnosis spesifik. Kecanggihan yang semakin meningkat telah menyebabkan ahli
endokrinologi semakin mengandalkan uji ini. Namun, uji ini tidak dapat
menggantikan keputusan klinik yang baik yang menggunakan semua informasi yang
ada untuk membuat keputusan klinik. Uji laboratorium biasanya mengukur kadar
hormon dalam cairan tubuh, gejala sisa dari hormon, ataupun gejala sisa dari
proses yang menyebabkan kelainan hormon. Uji ini dapat dilakukan di bawah
keadaan acak atau basal, keadaan yang ditentukan dengan tepat, ataupun sebagai
respon terhadap beberapa rangsangan provokatif. Dalam mengukur kadar hormon,
sensitivitas mengacu pada konsentrasi terendah dari hormon yang dapat dideteksi
secara tepat, dan spesifisitas mengacu pada sifat spesies tertentu yang
bereaksi dengan uji hormon ini.
B. Pra Analiktik & Analitik Pengukuran Kadar Hormon
Pengukuran
kadar hormon seperti juga pemeriksaan zat lain memerlukan perhatian dalam pra
analitik dan analitiknya agar hasil
yang di dapat memberikan informasi yang benar.
Tahap Pra
Analitik
Tahap pra analitik meliputi
persiapan pasien, pengambilan sampel, dan pengiriman sampel ke laboratorium
pemeriksaan / rujukan, proses pemisahan serum atau plasma serta penyimpanan
sampel. Semua faktor perlu dibakukan agar hasil pemeriksaan dapat
diinterpretasi secara baik dan berguna. Pada persiapan pasien perlu ditentukan
apakah puasa atau tidak, makanan tertentu, minuman tertentu, merokok, alkohol,
obat-obatan tertentu. Juga kerja fisik atau olahraga, waktu pengambilan sampel
dikaitkan dengan
variasi diurnal. Pada pengambilan sampel perlu diperhatikan posisi badan
pasien, lama dan kuatnya pembendungan (Torniquet), jenis antikoagulan, apakah
perlu perlakuan khusus seperti pendingin. Perubahan posisi badan dari tegak ke
berbaring atau sebaliknya akan menyebabkan perubahan jumlah cairan dalam
pembuluh darah karena perpindahan sebagian plasma ke jaringan interstisial.
Akibatnya akan terjadi perubahan kadar analit terutama yang berukuran molekul
besar seperti protein. Kadar analit yang berkaitan dengan protein juga akan
ikut berubah. Demikian pula pembendungan yang terlalu kuat dan lama akan
menyebabkan perembesan sebagian plasma ke luar pembuluh darah dengan akibat
seperti pada perubahan posisi badan. 1,2
Beberapa
jenis analit termasuk hormon tertentu memerlukan perhatian dan perlakuan khusus
sejak sampel diambil. Untuk sampel darah ada yang sudah harus didinginkan pada
4 °C sejak darah diambil sampel diperiksa atau sampel serum atau plasma
dipisahkan dari sel darah. Contohnya adalah hormon gastrin, renin. 3
Sejak
pengambilan darah sampai transportasinya ke laboratorium baik dengan kurir atau
sistem angkutan seperti peneumatic tube, harus diajaga agar darah jangan sampai
hemolisis. Pemisahan serum atau plasma sebaiknya dilakukan sebelum 2 jam dari
waktu pengambilan darah. Hal ini disebabkan eritrosit dan sel darah yang masih
hidup masih melakukan metabolisme dan dapat mempengaruhi kadar analit dalam
serum atau plasma. Akan tetapi pemisahan tersebut sebaiknya setelah terjadi.
retraksi bekuan sempurna. Bila pengambilan sampel darah dilakukan di tempat
yang cukup jauh dari laboratorium pemeriksa, maka pemisahan serum atau plasma
adakalanya sebaiknya dikerjakan di tempat pengambilan dan baru serum atau
plasmanya yang dikirim ke laboratorium pemeriksa. Untuk analit yang perlu
pendingin maka pemusingan dilakukan dengan centrifuge berpendingin.
Sampel sering perlu disimpan
disebabkan belum dapat dikerjakan segera karena ada jadwal tertentu dan juga
untuk keperluan pengukuran ulang bila diperlukan. Untuk hormon perlu
diperhatikan beberapa faktor tergantung jenis hormon yang diperiksa. Hormon
steroid relatif stabil sampai 3 hari bila disimpan pada suhu kamar. Hormon
peptida perlu disimpan dalam keadaan beku bila tidak diperiksa pada hari
pengambilan sampel. Hal ini berlaku untuk hormon yang tidak stabil seperti
ACTH, renin, peptida intestinal vasoaktif, insulin, hormon pertumbuhan (growth
hormone) dan kalsitonin (calcitonin).
Daftar
hormon dan perlakuan khusus yang diperlukan pada pengambilan sampel dan
penyimpanan
Hormon
|
Antikoagulan
|
Perlakuan Khusus
|
ACTH (P)
|
Heparin
|
Bekukan
dalam 15 menit pengambilan
|
Aldosteron
(P,S)
|
Bekukan
atau + borat
|
|
Androstenedione
(S)
|
Sampel
diambil pagi hari
|
|
Calcitonin
(S)
|
Bekukan
|
|
Cortisol
(P)
|
Heparin
|
Pisahkan
Segera
|
11-Deoxycortisol
(P)
|
Heparin
|
Pisahkan
Segera
|
Estradiol
(P)
|
Heparin
|
Bekukan
|
Gastrin
(S)
|
Puasa,
bekukan
|
|
17-Hydroxyprogesterone
(S)
|
Pengambilan
antara pk 09.00-11.00 pagi
|
|
Insulin
(S)
|
Puasa,
bekukan
|
|
Parathyroid
Hormone (PTH)(S)
|
Bekukan
|
|
Palacental
lactogen (S)
|
Bekukan
|
|
Prolactin
(S)
|
Bekukan
|
|
Renin (P)
|
EDTA
|
Dinginkan
sewaktu pengambilan, centrifuge
|
Tahap Analitik
Pengukuran
kadar hormon dilakukan dengan banyak cara, ada teknik analitis seperti
bioassay, receptor assay, immunoassay, dan teknik instrumental seperti
spektrometri massa yang ber-interfaced dengan kromatolografi cair atau
gas.
1. Pengkuran kadar Hormon : Kadar Basal
Assay imunologik telah menjadi teknologi dominan yang
digunakan untuk mengukur kadar dari hormon dalam cairan tubuh . Sebagian besar
pengukuran dilakukan pada sampel darah atau urin. Hormon diukur secara langsung
dari sampel atau setelah ekstraksi dan pemurnian. Sebagian besar pengukuran
adalah terhadap hormon aktif, walaupun pengukuran dari metabolit atau prekursor
hormon ataupun zat yang dilepaskan secara serentak kadang-kadang memberikan
informasi yang terbaik.
2. Kadar Hormon Bebas
Banyak hormon beredar terikat dengan protein plasma,
dan umumnya merupakan fraksi hormon bebas yang secara biologik relevan. Dengan
demikian, penilaian dari kadar hormon bebas lebih penting daripada penilaian
dari kadar hormon total. Sejumlah uji untuk mengukur kadar hormon bebas
tersedia saat ini. Assay ini dapat menggunakan dialisis keseimbangan,
ultrafiltrasi, pengikatan kompetisi, dan cara-cara lain. Namun, uji seperti ini
tidak biasa digunakan. Salah satu dari uji yang sering digunakan adalah indeks
tiroksin bebas, yang digunakan untuk mengukur hormon bebas secara tak langsung
dengan menilai kemampuan dari plasma untuk mengambil T4; hal ini berbanding
terbalik dengan penjenuhan dari ikatan protein oleh hormon endogen dan
berbanding langsung dengan fraksi hormon total yang bebas. Pengukuran kalsium
bebas daripada konsentrasi ion kalsium total juga semakin banyak digunakan.
3. Immunoassay
Immunoassay hormon menggunakan antibodi dengan
afinitas yang tinggi
terhadap hormon. Antibodi bisa poliklonal atau
monoklonal.
Antibodi poliklonal yang digunakan biasanya didapatkan dari hewan yang
menghasilkan sejumlah antibodi yang berbeda. Kelinci, marmut, domba, dan
kambing populer untuk tujuan ini. Pada populasi antibodi poliklonal, bisa
terdapat banyak antibodi dengan afinitas yang sangat tinggi terhadap hormon
yang dengan demikian akan memberikan suatu tingkat kepekaan yang tinggi. Namun,
dalam keseluruhan populasi poliklonal pada hewan, antbiodi terhadap antigen
merupakan proporsi yang sangat rendah dari populasi antibodi total.
Antibodi monoklonal didapatkan melalui beberapa cara; biasanya didapatkan
melalui penyuntikan antigen ke dalam tikus atau dengan menginkubasi antigen
dengan sel in vitro. Sel hewan atau sel yang diinkubasi in vitro kemudian digabungkan
melalui fusi dengan sel mieloma atau mentransformasi mereka dengan virus tumor.
Hal ini menghasilkan sejumlah klon sel penghasil-antibodi. Klon ini kemudian
disaring dengan antigen hormon hingga ditemukan suatu klon penghasil-antibodi
yang cocok.
4. Assay Nonimunologik
Assay nonimunologik termasuk assay kimiawi, yang
mengambil manfaat dari gugusan yang secara kimiawi reaktif dalam molekul;
bioassay, yang menilai aktivitas dari hormon yang diinkubasi dengan sel atau
jaringan in vitro atau disuntikkan ke dalam seekor hewan; dan assay
pengikatan-reseptor dan assay lain, yang memanfaatkan afinitas tinggi hormon
untuk reseptor atau molekul lain seperti protein pengikat-plasma. Immunoassay
umumnya unggul daripada assay reseptor karena memiliki afinitas yang lebih
tinggi terhadap hormon ketimbang reseptor. Suatu contoh dari uji reseptor
adalah uji yang menggunakan biakan sel dari suatu tumor tiroid (sel FRTL-5)
yang mengandung reseptor TSH, untk mendeteksi antibodi terhadap reseptor ini
yang ditemukan pada penyakit Graves.
5. Uji Provokatif
Pada banyak kasus, kadar hormon diinterpretasi dengan
baik setelah dilakukan tantangan provokatif, walaupun sedang dikembangkan cara
yang lebih maju untuk memintas kebutuhan akan uji seperti ini. Misalnya , pada
penyakit tiroid, uji provokatif jarang diperlukan, sementara pada insufisiensi
adrenal atau kelebihan glukokortikoid, dilakukan uji seperti ini. Pada penyakit
tiroid, bersihan yang lambat dari hormon menghasilkan kadar basal hormon yang
sangat informatif, sementara sifat pulsasi dari pelepasan kortisol menghasilkan
suatu kadar kortisol plasma yang berfluktuasi. Masalah ini dipintas dalam
evaluasi dari insufisiensi adrenal dengan memberikan suatu analog ACTH yang
merangsang adrenal secara maksimal.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Diagnosis dari penyakit endokrin memerlukan
keterpaduan dari suatu kumpulan data, termasuk keterpaduan sejak dari riwayat
dan pemeriksaan fisik dan dari uji laboratorium. Dengan adanya kecanggihan dari
uji dewasa ini, biasanya diagnosis dapat dibuat dengan pasti. Namun, terdapat
banyak situasi di mana sukar untuk mendapatkan suatu diagnosis yang jelas; dan
prosedur untuk membuat suatu diagnosis pasti lebih banyak mengandung risiko
ketimbang penyakit dalam jangka waktu pendek. Pada kasus ini harus dibuat suatu
keputusan untuk memantau pasien.
B. Saran
Penulis
menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Thomas L.
Clinical laboratory results. Dalam : Thomas L (ed). Clinical Laboratory
Diagnostics. 1st ed. Frankfurt : TH-Books Verlagsgesellschaft mbH,
1998 p 1453-7.
Henry JB,
Kurec AS. The clinical laboratory: prganization, purpose, and practice. Dalam :
Henry JN (ed). Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 20th
ed, Philadelphia : WB Saunders Company, 2001 p 12-7.
Kleerekoper
M. Hormones. Dalam : Burtis C, Ashwood ER, Bruns DE. (eds). Tietz Textbook of
Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. 4th ed. 2006 p 1030-1.
Young DS,
Bermes EW, Haverstick DM. Specimen collection and processing. Dalam : Burtis C,
Ashwood ER, Bruns DE. (eds). Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular
Diagnostics. 4th ed. 2006 p 54-5.
Nice DA.
Assessment of organ function. Dalam : Noe DA, Rock RC (eds). Laboratory
Medicine. The selection and interpretation of clinical laboratory studies. 1th
ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1994 p 55-74.
Baxter JB.
Introdaction to endocrionology. Dalam : Greenspan FS, Strewler GJ (eds). Bassic
& Clinical Endocrinology. 1th ed, London: Prentice Hall
International Inc. 1997 p 28-34.
Oleh : Prof. Marzuki Suryaatmadja, SpPK(K)
Gosling JP: A decade of development in immunoassay
methodology. Clin Chem 1990;36:1408.
Vaitukaitis JL: Hormone assays. In Felig P.
Endocrinology and Metabolism, 2nd ed. McGrawHill,1987; 58-62
Ekins R: Measurement of free hormones in blood.
EndocrRev 1990;11:5.
PDF Teknik Diagnostik Klinik
Kelainan Endokrin Oleh : Ruswana Anwar (Subbagian Fertilitas Dan endokrinologi
Reproduksi Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung
2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar