Selasa, 28 Oktober 2014

Makalah Hipersensitivitas



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerjamelindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi hipersensitivitasterbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksihipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

B.     Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengertian dari hipersensivitas.
2.      Dapat mengetahui penyebab dari hipersensivitas.
3.      Dapat mengetahui patofisiologi dari hipersensivitas.
4.      Dapat mengetahui manifestasi klinis dari hipersensivitas.
5.      Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dri hipersensivitas.
6.      Dapat mengetahui penatalaksanaan dari hipersensivitas.
7.      Dapat mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada hipersensivitas.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

a.      hipersensitivitas tipe  I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll.

b.      Hipersensitivitas Tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

c.       Hipersensitivitas Tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

d.      Hipersensitivitas Tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Mekanisme hipersensivitas terjadi dalam reaksi jaringan setelah beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian reaksi antigen adalah :
1.      Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2.      Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3.      Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).

B.     Etiologi
a.       Faktor internal.
1.      Imaturitas usus secara fungsional.
2.      Genetik.
3.      Mukosa dinding saluran cerna matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.

b.      Faktor eksternal.
1.      Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan).
2.      Makanan yang dapat memberikan reaksi alergi.
3.      Semua jenis makanan dan zat tambahan yang ada dalam makanan yang dapat menimbulkan reaksi alergi.

C.     Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. Telur) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah muncul gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh bisofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu :
1.      Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T, sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.      Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (IgE) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar didalam tubuh melalui pembuluh darah.

D.    Manifestasi Klinis
1.      Pada saluran pernafasan dapat terjadi asma.
2.      Pada saluran cerna dapat terjadi mual, muntah, diare, nyeri perut.
3.      Pada kulit dapat terjadi gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatis.
4.      Pada mulut dapat terjadi rasa gatal dan pembengkakan bibir.

E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Riwayat Penyakit.
Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.
2.      Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3.      Pemeriksaan Laboratorium.
Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4.      Tes Kulit.
Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5.      Tes Provokasi.
Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).

F.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).






G.    Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan pola nafas b.d terpajan alergen.
2.      Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan berlebihan.
3.      Nyeri akut b.d agen cedera biologis (alergen ex. Makanan).
4.      Hipertermi b.d proses inflamasi.
5.      Kerusakan integritas kulit b.d inflamsai dermal, interdermal sekunder.




























BAB III
PENUTUP

Penyusun mengucapkan syukur alhamdullilah kepada Allah SWT, karena pada akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun masih banyak kesalahan dan masih kurang sempurna.
Penyusun berharap dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta para pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada para pembaca atas kesediaan membaca makalah ini.

























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C, dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC
Harahap, Marwali, dkk. 2000. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung: Alumni
Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.
Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune response. Academic Press. ISBN 978-0-12-374163.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar