BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fungsi penghidu dan
pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting untuk
mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada
individu. Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit
atau bisa juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang hilang atau berkurang
terjadi pada kira-kira 1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih
dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.
Partikel bau dapat
mencapai reseptor penghidu bila menarik napas dengan kuat atau partikel
tersebut larut dalam lendir yang terdapat di daerah olfaktorius. Disebut
hiposmia bila daya menghidu berkurang, anosmia bila daya menghidu hilang, dan
disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu.
Sel penciuman
adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah yang terbentang di atas dari
konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang berhadapan. Akson dari
sensosel dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina
kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus
olfaktorius yang menuju ke otak.
B. Tujuan
a.
Dapat menegtahui
pengertian hiposmia.
b.
Dapat mengetahui penyebab hiposmia.
c.
Dapat mengetahui
proses perjalanan gangguan hiposmia.
d.
Dapat mengetahui
tanda dan gejala hiposmia.
e.
Dapat mengetahui pemeriksaan penunjang pada gangguan hiposmia.
f.
Dapat mengetahui penatalaksanaan pada gangguan hiposmia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Adalah suatu penyakit dimana berkurangnya kemampuan untuk
mencium bau. Hiposmia dapat bersifat bilateral/
unilateral. Hiposmia disebabkan karena adanya keruskan pada saraf pembau/
penciuman yaitu saraf olfaktorius. Orang yang mengalami cedera lobus frontalis
sering menderita hiposmia.
B.
Etiologi
Hiposmia dapat disebabkan oleh
proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap
serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural.
Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju
neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur
saraf yang lebih sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit penghidu yang utama
adalah penyakit pada rongga hidung dan atau sinus, sebelum terjadinya infeksi
saluran nafas atas karena virus dan trauma kepala.
Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat
mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputi rhinitis (radang hidung) dari
berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau toksik (misalnya
pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang
progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat
rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant ke epitel olfaktorius.
Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan
keganasan.
3. Abnormalitas developmental (misalnya
ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau
trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran
udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan dipasang kanula
pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap
menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi
karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Defek
sentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada
transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak
neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis,
dan sklerosis multipel.
2. Gangguan endokrin (hipotiroidisme,
hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.
3. Trauma kepala, operasi otak, atau
perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya
fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
4. Hiposmia juga dapat disebabkan oleh
toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi (aminoglikosida,
formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah sensitivitas
bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam
zink secara langsung.
5. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin,
zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
6. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius
berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius
ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa
olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
7. Proses degeneratif pada sistem saraf
pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses penuaan normal) dapat
menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi pembauan
kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses
penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan,
dimana penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
C.
Patofisiologi


Terganggu karena : lobus
temporali otak
1. Sinusitis
2. Polip
3. Obstruksi
hidung
4. Cidera
5. Obat-obat
antiinflamasi
D.
Tanda dan gejala
a. Tidak
dapat mencium bau
E.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan
olfaktorius terbagi dua, yaitu pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif.
a. Pada pemeriksaan
olfaktorius subjektif, berbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita
secara terpisah antara kedua lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari
mukosa hidung. Beberapa jenis substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau
yang akan menstimulasi hanya nervus olfaktorius (kopi, coklat, vanilla,
lavender), substansi yang menstimulasi komponen trigeminal (menthol, asam
asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan (kloroform
piridine).
Pemeriksaan olfaktorius subjektif juga bisa
dilakukan menggunakan alat test yang siap pakai, misalnya Sniffin’ Sticks.
Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol yang berbentuk seperti pen
dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda. Melalui penggunaan alat
ini, kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta
kemampuan mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup
matanya, kemudian pemeriksa akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana
antara ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik yang mempunyai bau. Jika
pasien tidak bisa mendeteksi sebarang bau atau mengidentifikasi stik yang
salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi
stik yang diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi
dengan benar paling kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang
mana pasien bisa mendeteksi bau tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan
waktu 10 menit dan mudah dilakukan. (8,10,11)
b. Pemeriksaan
olfaktorius objektif jauh lebih mahal dibanding pemeriksaan subjektif dan
biasanya dilakukan di pusat-pusat yang lebih besar. Bau murni serta stimulan
nervus trigeminus diberikan kepada pasien secara terpisah, kemudian respon yang
terjadi diukur dan dianalisis menggunakan komputer. Pemeriksaan laboratorium
yang biasa dilakukan adalah tes gula darah, tes reduksi urin dan lain- lain.
2.
CT scan atau MRI kepala dibutuhkan untuk
menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior, fraktur fossa kranii
anterior yang tak diduga sebelumnya, sinusitis paranasalis, dan neoplasma pada
rongga hidung dan sinus paranasalis. Kelainan tulang paling bagus dilihat melalui
CT, sedangkan MRI bermanfaat untuk mengevaluasi bulbus olfaktorius, ventrikel,
dan jaringan-jaringan lunak lainnya di otak. CT koronal paling baik untuk
memeriksa anatomi dan penyakit pada lempeng kribiformis, fossa kranii anterior,
dan sinus.
F.
Penatalaksanaan
1. TERAPI
a. Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran
akibat rinitis alergi, rinitis dan sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan
kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat dilakukan secara rasional
dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini seringkali
efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu pengelolaan alergi, terapi
antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan operasi untuk polip
nasal, deviasi septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
b. Hiposmia
Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi
kurang penciuman sensorineural. Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi.
Sebagian dokter menganjurkan terapi zink dan vitamin. Defisiensi zink yang
mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan gangguan sensasi
bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah geografik
yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A. Degenerasi
epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat.
Pajanan pada rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat
menyebabkan metaplasia epitel penciuman.
BAB III
PENUTUP
Penyusun mengucapkan syukur alhamdullilah kepada Allah
SWT, karena pada akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun masih banyak kesalahan dan masih kurang sempurna.
Penyusun berharap dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua serta para pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih
kepada para pembaca atas kesediaan membaca makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar