Selasa, 28 Oktober 2014

Alergi dan Sensitivitas



Alergi

Alergi merupakan respon sistem imun yang tidak tepat dan kerapkali membahayakan terhadat substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi antara antigen dan atibodi. Kalau tubuh diinfasi oleh antigen yang biasanya berupa protein yang dikenali tubuh sebagai benda asing, maka akan terjadi serngkaian peristiwa dengan tujuan untuk membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya, menghancurkannya kemudian membebaskan tubuh darinya. Kalau limfosit bereaksi terhadap antigen, kerapkali antibodi dihasilkan. Reaksi alergi umum akan terjadi ketika sistem imun pada seseorang yang rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak berbahaya (mis. debu,  tepung sari gulma). Produksi mediator kimia pada reaksi alergi dapat menimbulkan agejala yang berkisar dari gejala yang ringan hingga gejala yang dapat membawa kematian.
Sistem imun tersusun dari banyak sel serta organ dan substansi yang di sekresikan oleh sel-sel serta organ-organ ini. Pelbagai bagian dari sistem imun ini harus bekerja bersama untuk memastikan pertahanan yang memadai terhadap para penginvasi (yaitu, virus, bakteri, substansi asing lainnya) tanpa menghancurkan jaringan tubuh sendiri lewat reaksi yang terlampau agresif.

Hipersensitivitas

            Suatu reaksi hepersensitifitas biasanya tidak akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan antigen. Reaksi terjadi pada kontak-ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitiasi. Sensitiasi memulai respon humoral atau pembentukan antibodi.

Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)

            Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh antobodi IgE (reagin) dan bukan oleh antibodi IgG atau IgM. Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi IgE oleh sel-sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu menggalakan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor membran pada sel-sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada ssaat terjadi kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi IgE di dekatnya dan pengikatan ini mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan mediator kimia (histamin, leukotrien dan ECF-A [eosinophil chomotactic factor of anaphylaxis])
            Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru, dan traktus grastrointestinal. Gejala klinis ditentukan oleh jumlah alergen, jumlah mediator yang dilepas, sesitibitas target organ dan jalur masuknya  alergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat mencakup anafilaksis lokal dan sistemik.

Manifestasi Klinis

Reaksi tipe I dapat  terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (mis. bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikara bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokontriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang , dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajanannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalsi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit dan makanan, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh infeksi anafilaksis yang terlokaslisasi.
Kerentanan terhadap reaksi tipe I yang terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetik, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukan kecenderungan familial terhadap reksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (termasuk hay fever dan beberapa bentuk asma) sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetik atopi belum dimengerti secara jelas; namun, suatu studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.         
           
Hipersensitivitas Sitotoksik (Tipe II)

            Hipersensitibitas sitotoksik terjadi kalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini mungkin akibat dari antibodi yang melakukan reaksi-silang dan pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta jaringan. Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antibodi IgG atau IgM dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi tempat antigen terikat.
            Reaksi hipersensitivitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibidi terhadap reseptor normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom Goodpasture yang pada sindrom ini dihasilkan antibodi terhadap jaringan paru dan ginjal sehingga terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik imun karenaobat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi trnfusi darah yang tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang menimbulakan destruksi sel darah merah.

Hipersensitivitas kompleks Imun (Tipe III)

            Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalau kompleks ini bertumpuk dengan jaringan atau endotelium vaskuler, terdapat dua buah faktor yang turut menimbulakan cedera, yaitu : peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar dan adanya amina vasoaktif. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan cedera jaringan. Persendian dan ginjal merupakan organ yang terutama rentan terhadapa cedera ini. Hipersensitivitas tipe II berkaitan dengan sistemik lupus eritematosus, artritis rematoid, serum sickness, tipe tertentu nefritis dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.

Hipersensitivitas Tipe-Lambat (Tipe IV)

            Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontka dengan alergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai oleh makrofag dan sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah penyuntikan intradermal antigen tuberkulin atau PPD (purified protein derivative). Sel-sel T yang tersensitasi akan bereaksi dengan antigen pada atau di dekat tempat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan dan mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat tersebut. Lisozim yang dilepas oleh sel-sel makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan penyebab timbulnya reaksi tuberkulin yang positif. Dermatitis kontak merupakan hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan alergn seperti kosmetika, plester, obat-obat topikal, bahan aditif obat dan racun tanaman. Kontas primer akan menimbulkan sensitiasi ; kontak ulang menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan berat –molekul renah atau hapten yang terikat dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel langerhans dlam kulit. Gejala yang terjadi mencakup keluhan gatal-gatal, eritema dan lesi yang menonjol.


Smeltzer, Suzanne C, dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar